Mengenang Wajah Surau

Suasana proses Latihan (foto: tim produksi)
Suasana proses Latihan (foto: tim produksi)

Dalam waktu dekat ini, Rio Eka Putra atau yang biasa disapa Rio akan menyuguhkan kembali sebuah karya komposisi musik pada kita. Pelaku seni yang juga merupakan mahasiswa pascasarjana ISI Padangpanjang ini akan mem-flash-back ingatan kita pada sebuah priode penting di Minangkabau, yaitu priode surau.

Kata Surau, sekilas kita kenal sebagai tempat ibadah yang dahulunya hadir hampir di setiap nagari di Minangkabau. Lebih dari itu, surau juga memiliki peran penting dalam membentuk mental masyarakat nagari tersebut. Seperti cerita yang biasa kita dengar dari kakek-kakek kita, di surau kita bisa melihat beragam aktivitas, terutama menjelang shalat Magrib. Di sekelilingnya anak-anak bermain gasing, galah, dan sebagainya. Hampir setiap anak remaja pergi ke surau, bahkan mereka yang sudah dewasa dianjurkan untuk tidur di surau. Tentunya bukan hanya tidur dalam artian beristirahat. Setelah Isya, mereka belajar mengaji, pasambahan adat, silat, randai serta ilmu pengetahuan duniawi maupun spiritual. Jadi tidak heran kalau kita sering mendengar dahulunya orang Minangkabau pintar mengaji dan silat. Seperti yang penuturan Djaliran Bilal yang dikutip oleh Rio Eka Putra,

“Pada dasarnya, laki-laki Minang itu pandai mengaji, tadarus, barzanji, silat dan segala macam keterampilan. Ketika semua itu telah dipelajari dan diteladani, barulah seorang anak mudo Minang pergi merantau.”

Ya, Setiap anak mudo (anak muda) di Minangkabau memang dianjurkan untuk merantau. Merantau penting untuk menjemput segudang pengalaman, serta pendalaman jati diri untuk menjadi ‘orang yang berguna’. Tapi tentu tidak semudah membeli tiket pesawat, ada banyak tantangan kehidupan diperantauan. Oleh karena itulah peranan surau menjadi lebih penting untuk membentuk karakter dan mental anak-anak muda. Surau memberikan bekal ilmu pengetahuan, agama, budi pekerti, akhlak, serta wawasan agar tidak perlu gentar menghadapi berbagai tantangan di perantauan.

Fenomena itu ternyata menarik perhatian Rio selaku seniman dan pemuda Minang yang berkembang pada ‘era ini’. Kini surau hampir tidak kita temui lagi, yang ada hanya tempat belajar mengaji, Taman Pendidikan Al-quran (TPA). Di sini anak-anak dikhususkan belajar mengaji tanpa dibarengi dengan pembentukan karakter keseharian mereka. Seperti yang dikatakan Rio,

“Taman Pendidikan Al-qur’an ini hanya mengajarkan anak-anak mengaji, dengan kata lain hal-hal yang berhubungan dengan aspek ukrawi menjadi hal yang terlupakan, menjadikan aspek dunia dan akhirat tidak seimbang. Guru tuo tidak lagi berperan penting dalam mengajarkan anak-anak sepenuhnya, melainkan guru TPA hanya mengajarkan pelajaran mengaji tanpa adanya pengetahuan-pengetahuan lainnya.”

Dari penelitian yang dilakukanya, Rio melihat bahwa keseimbangan antara duniawi dan akhirat merupakan modal penting untuk menjalankan kehidupan. Atas dasar itu mucul keinginan Rio untuk mengaktualkan pandangannya itu ke dalam sebuah karya komposisi musik. Rio ingin mengajak kita menuju titik perenungan, di antara sistem pembelajaran kehidupan masa dulu (priode surau) dan masa sekarang, melalui sensibilitas musikal yang dikomposisikannya. Karya musik itu ia beri judul Rono Lamo Kurenah Kini”, karya yang juga diperuntukan sebagai pelengkap tugas akhir dalam menyelesaikan studi pascasarjananya. Rono Lamo Kurenan Kini akan dipersentasikan untuk publik pada tanggal 20 Juli 2014, di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI Padangpanjang.

ARP

*Pengantar karya Rio Eka Putra, “Rono Lamo Kurenah Kini” dipublis oleh BUJANGKATAPEL Art Archives

Silahkan komentar dan tanggapi

Buat Blog di WordPress.com.

Atas ↑