Anak Ketek Jaek dari Rumah Gadang

foto pertunjukan anak ketek jaekMetafora adalah salah satu gaya permaianan bahasa yang banyak dipakai seniman menamai karya mereka: multitafsir, bermakna ganda, tafsir-tafsir yang terduga. Apa lagi jika sekilas kalimat metafor itu membuat orang kaget, dan penasaran. Seperti kalimat Anak Ketek Jaek sebagai sebuah judul karya komposisi musik, dalam bahasa Indonesia kalimat ini memiliki makna yang sama dengan kalimat anak kecil yang jahat. Namun seperti apa Anak Ketek Jaek dalam sebuah karya musik?

Anak Ketek Jaek Salah satu karya yang di komposeri oleh Syahroni Yusuf Putra, S.Sn. Karya ini pertama kali tampil di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam ISI Padangpanjang, pada tahun 2012.

Pertunjukan ini diawali dengan cahaya yang perlahan muncul menyorot para pemain yang sudah pada posisinya di atas panggung. Musik dimulai dengan permainan melodi melalui instrumen talempong dengan dinamik rendah. Pola ritme dan melodi yang dimainkan adalah bagian dari materi kesenian talempong pacik, gua (reportoar) Rumah Gadang. Tepatnya pola permainan yang dimainkan oleh salah satu peran dalam kesenian talampong pacik yang disebut ‘pemain anak’. Materi permainan inilah yang dikembangkan oleh komposer menjadi sebuah reinterpretasi musik yang berjudul “Anak Ketek Jaek”.

Komposer menghadirkan beberapa instrument konvensional pendukung garapan. Diantaranya, terdapat bass electric dan guitar electrik. Tiga set talempong yang terdiri dari talempong canang yang dimainkan oleh dua orang, talempong biasa dimainkan dua orang, dan satu talempong kecil dimainkan satu orang. Kemudian perkusi ritmis yang terdiri dari sepasang gendang duduk (menyerupai gendang sarunai dari bahan plastik), perkusi set/rakitan, dan dol bengkulu. Instrument pendukung yang telah lepas dari konteks kesenian talempong pacik gua rumah gadang secara tradisional.

Secara tradisional kesenian talempong pacik gua rumah gadang adalah kesenian yang diperuntukan dalam arak-arakan pesta adat, alek, dan sejenisnya. Alat musik yang digunakan oleh masyarakat secara tradisional adalah talempong dengan enam nada, satu alat musik tiup, dan di beberapa penampilannya ada yang menggunakan gendang ada pula yang tidak. Perubahan yang dilakukan Syahroni cukup signifikan, terutama warna instrumental yang dihadirkannya. Hal inilah yang menarik dari ratusan karya yang telah lahir di lembaga pendidikan seni Indonesia, khususnya di Padangpanjang. Gaya garapan seperti ini mereka sebut dengan reinterpretasi, begitu pula karya Anak Ketek Jaek.

Dalam laporan karyanya, Syahroni mengatakan rumusan penciptaan yang Ia lakukan, yaitu :

“Bagaimana mewujudkan garapan komposisi musik yang berangkat dari kekhasan talempong pacik pada unit permainan anak dalam Gua Rumah Gadang dengan mengutamakan garap aksentuasi interlocking, sehingga menjadi sebuah garapan komposisi musik baru yang berkarakteristik sendiri.” (Syahroni Yusuf Putra, Laporan Karya Anak Ketek Jaek, 2012).

Seperti yang dikatakan dalam kutipan tersebut rasa musikalitas antara materi dan hasil karya yang baru telah jauh berbeda karena adanya pengembangan-pengambangan. Pengambangan itu telah terjadi pada melodi, ritme, dan bunyi yang dihasilkan melalui instrumen yang berbeda. Dan jelas pengembangan tersebut adalah subjetifitas pengkarya, arah perkembangannya tergantung pada selera pengkarya. Dua kata kuncinya adalah interloking dan penekanan aksentuasi.

Dalam Terminologi musik yang ditafsirkan oleh Hajizar. Istilah “Interlocking” berarti masing-masing pemain memainkan lebih  dari satu nada secara singkop  yang  menghasilkan melodi. Seperti pada materi permainan anak dalam gua rumah gadang yang dimainkan dengan dua nada, aksentuasinya diawali dengan singkop. Dan inilah menjadi materi utama yang dikembangkan dalam karya ini.

Pada bagian pertama karya Anak Ketek Jaek, penulis berasumsi bahwa, Bagian ini adalah perkenalan materi yang menjadi benang merah dalam garapan komposisi musik ini. Di bagian ini kita temukan potongan aksentuasi dan interloking dari pola permainan (peran) anak dalam permainan talempong pacik gua rumah gadang secara tradisional. Pengkarya melakukan pemotongan melodi dari materi aslinya, misalnya dalam satu siklus melodi atau pola permainan anak terdiri dari 8 ketukan dan dalam setiap ketukan terdapat melodi yang dijalin dari dua nada. Kemudian pemotongan yang dilakuakan masih dalam 8 ketukkan, namun molodi hadir hanya pada 4 ketukan awal. Setelah dua kali pengulangan, pengkarya menyajikan melodi atau materi permainan unit anak tersebut secara utuh dalam 8 ketukan. Berlanjut diikuti peng-aksentuasi-an oleh pemain perkusi non-melodic. Kemudian permainan unisono oleh keseluruhan alat dengan memainkan pengembangan melodi awal atau melodi utama yang merupakan aksentuasi dan interlocking yang akan dikembangkan seperti penjelasan sebelumnya.

Selain dengan teknik permainan unsisono, melodi utama tersebut juga dikembangkan secara stakato (permainan melodi secara terputus-putus), dan dilanjutkan dengan permainan vokal secara rampak atau unisono. Melodi pokok juga ditonjolkan oleh biola dan gitar, serta gitas bass yang ikut memberi aksentuasi.

Pada bagian yang terputus mucul Dol mengawali kembali permainan dengan pola yang ringan dan dinamik yang makin keras dengan tempo yang konstan. Di tengah permainan dol tersebut muncul unisono pendek oleh seluruh instrumen selain dol. Sementara dol masih dalam pola dan tempo stabil, pemain talempong dari dinamik rendah muncul memainkan melodi dan disambut oleh biola. Begitulah secara umum pada bagian pertama tersebut, berisi pengulangan melodi atau materi pokok yang dikembangkan baik itu dalam permainan unisono, maupun stakato. Seakan pada bagian ini pengkarya tengah memperkenalkan materi yang diangkat dan membuatnya familiar di telinga pendengar.

Lain halnya pada bagian tengah, yang secara umum diwarnai permaina free melodi, free melodi tersebut diwakili oleh permainan biola, alat musik tiup (sarunai), gituar electric dan guitas bass electric. Bagian ini juga terkesan seperti demonstrasi intrumental yang menonjolkan ekspresi permainan per-instrumen. Kemudian pada bagian tengah ini juga muncul sedikit kesan tanya jawab melodi melalui instrumen-instrumen melodis secara bergantian. Dan tak kalah menarik permainan vokal dengan melodi yang dibangun dari ritme materi pokok atau ritme yang sering muncul dalam karya Anak Ketek Jaek ini. Vokal tersebut diolah dalam bentuk unisono vokal, vokal dengan free ritme, dan pembagian vokal cannon.

Kemudian, bagian yang penulis anggap sebagai bagian akhir dari karya Anak Ketek Jaek, diwarnai dengan eksplorasi instrumen talempong, atau memainkan instrumen talempong tersebut secra tidak lazim, seperti memukul pada bagian alasnya, dan juga eksplorasi cara permainan seperti yang dilakukan oleh pemain talempong yang menyilangkan tangan mereka, perpindahan posisi ditengah permainan, serta pemain gendang yang juga ikut berpindah posisi. Dan karya ini diakhiri dengan permainan unisono dalam tempo yang kencang dan dinamik yang keras.

Jika kita membandingkan karya ini dengan konseptual yang dibangun oleh pengkarya yang telah terlebih dahulu mengklaim karyanya sebagai karya re-interpretasi, seperti yang didefenisikan oleh pengkarya, dapat kita pastikan berhasil. Karena karya ini benar-benar lepas dari konsep dan simbol-simbol tradisi dari permainan gua rumah gadang. Dipertegas oleh peranan penting instrumen lain yang dihadirkan pengkarya, yang jelas tidak ditemukan dalam konteks permainan talempong pacik gua rumah gadang secara tradisional.

Reinterpretasi tersebut dipertegas lagi oleh kostum yang digunakan oleh seluruh pendukung karya, yang menggunkan celana pendek, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu. Layaknya seorang anak kecil bangsawan ala eropa. Penggunaan kostum demikian bisa jadi salah satu cara memanfaatkan metafora makna dari judul karya yakni “Anak Ketek Jaek”. Metafora yang dimaksud memberikan banyak kemungkinan penafsiran judul karya ini.

Oleh pengkarya dalam laporan karya Anak Ketek Jaek, judul yang terdiri dari tiga suku kata ini dipisah menjadi dua arti kata. Kata yang pertama adalah Anak Ketek, yang ditafsirkan pengkarya sebagai pemain anak dalam kesatuan permaian talempong pacik, dan kata yang kedua adalah jaek yang dimetaforkan pengkarya sebagai sifat permainan talempong anak, yaitu memliki nada melengking.

Berbeda dengan apa yang dikonsepkan pengkarya, secara universal, Anak Ketek Jaek akan dipisahkan menjadi tiga suku kata yang memilki masing – masing arti. Kata “anak” adalah panggilan kepada seseorang karena ia telah dilahirkan, memang banyak orang mengidentikan anak dengan anak-anak. Namun secara hakikat tentunya anak dan anak-anak cukup berbeda. Anak adalah setiap orang dalam kurun waktu tanpa batas. Sedangkan anak-anak sering ditujukan pada seorang yang masih kecil atau belum dewasa. Artinya anak-anak meliki batasan waktu. Kemudian ada juga anak-anak yang digunakan sebagai kata sifat yang sebenarnya lebih tepat digunakan kata “kekanak-kanakan” biasanya ini ditujukan kepada orang dengan usia dewasa namun memiliki sifat layaknya seorang “anak-anak” atau dalam banyak komunitas didefenisikan sebagai manusia dengan usia dibawah 17 tahun.

Pemilihan kata ketek setelah kata ‘anak’ pada judul karya ini, bisa saja dimaksud anak dengan ukuran kecil, bisa jadi ukuran tubuh, sifat, atau usia. karena kata ketek di lingkungan pengkarya dan tempat karya ini dipentaskan, “Ketek” berarti ukuran kecil, kemudian jika ia berada dibelakang kata “Anak” biasanya ia akan menjadi kata sifat pendukung kata sebelumnya. Singkatnya, Anak Ketek, dapat diartikan dengan anak yang masih kecil. Kemudian kata jaek, dalam Minangkabau biasanya memang selalu didentikan dengan kata sifat yang negatif, seperi halnya kata jahat, atau nakal dalam bahasa Indonesia. Namun dalam sinopsisnya pengkarya menegaskan bahwa kata jaek tidak selalu negatif, Ia menafsirkan sebagai semangat untuk berkreatifitas.

Jika judul merupakan poin yang ingin menggambarkan secara umum isi karya, maka beberapa pertanyaan yang akan muncul, apakah judul sesuai dengan apa yang ingin disampaikan karya tersebut. Dan apakah pengkarya jauh memperhitungkan ambiguitas makna judul terkait penggarapan musik yang dilakukannya.

Cukup sulit untuk menyesuaikan judul dengan kutuhan karya, karena tidak semua orang yang mengenal pola ‘peran anak’ dalam permainan talempong pacik, khususnya gua rumah gadang. Dan kesan musikal yang dihasilkanpun juga jauh dari musikal yang bisa disimbolkan sebagai anak-anak. Atau musikal yang ditujukan untuk anak – anak. Namun secara keseluruhan musik ini memang terkesen liar, penuh semangat, keras dan radikal, yang barang kali bisa diidentikan dengan kata jaek secara universal. Satu hal yang mendukung adalah ketika kita melihat karya ini dalam konteks pertunjukan. Artinya capaian estetikanya tidak hanya kita lihat dari materi musikalitasnya saja, namun juga bisa kita nilai dari kesan visual yang kita tangkap pada saat pertunjukkan. Seperti dandanan para pemain yang dapat diterima secara universal sebagai dandanan anak-anak atau anak ketek. Walaupun terkesan semacam plesetan anak – anak ala eropa.

Sekilas, ketika pertunjukan Anak Ketek Jaek baru akan dimulai, tanpa mempertimbangkan kosep penciptaan si-pengkarya, beberapa penonton awam barang kali menilai Anak Ketek Jaek yang dimaksud adalah anak kecil jahat yang berasal dari Eropa sana, tapi ternyata ia datang dari Rumah Gadang, tapi bukan rumah kebesaran orang Minangkabau secara harfiah. Anak Ketek dari Rumah Gadang adalah Anak Ketek dengan semangat kreatifitas.

Albert Rahman Putra

Padangpanjang, 2013.

Satu respons untuk “Anak Ketek Jaek dari Rumah Gadang

Add yours

Silahkan komentar dan tanggapi

Buat Blog di WordPress.com.

Atas ↑